
Universitas Kristen Indonesia
Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, pembangunan pendidikan nasional Indonesia kelihatannya masih memprioritaskan pemenuhan aspek kuantitas, khususnya pengadaan gedung sekolah, sarana pendidikan, dan pendidik (guru dan dosen). Fokus pengembangan kuantitas ini membuahkan hasil yang signifikan. Menurut Biro Pusat Statistik (2019) di tahun 2019, persentase penduduk yang bersekolah berdasarkan usia adalah: untuk kelompok usia 7-12 tahun, 99,24%; yang berusia 13-15 tahun, 95,31%; yang berusia 16-18 tahun, 72,36%; dan yang berusia 19-24 tahun, 25,21%. Dengan demikian, hampir semua anak Indonesia usia SD dan SMP telah bersekolah; 3 dari 4 penduduk berusia 16-18 tahun belajar di SLTA, dan 1 dari 4 lulusan SLTA belajar di perguruan tinggi. Selain itu, pada tahun 2019 Angka Melek Huruf (AMH) penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas adalah 95,90%.
Berbagai upaya peningkatan kualitas sebenarnya sudah dilakukan. Kurikulum, misalnya, sudah diubah sebanyak 10 kali, yakni kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Untuk mengimplementasikan kurikulum baru, berbagai pelatihan guru juga telah dilakukan. Namun, upaya-upaya tersebut masih belum berhasil. Kualitas pendidikan nasional Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil studi PISA (Programme for International Student Assessment) 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa skor rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia hanya 371, jauh lebih rendah dari skor rata-rata OECD, 487. Dengan skor itu, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 79 negara OECD. Tren yang sama terjadi pada kemampuan matematika (Indonesia, 379; rata-rata OECD, 489), dengan peringkat ke-73 dari 79 negara OECD. Kemampuan sains (Indonesia, 371; rata-rata OECD, 489), dengan peringkat ke-71 dari 79.
Esensi Membaca Sebagai Fondasi Pembelajaran
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan rendahnya capaian pembelajaran siswa di sekolah Indonesia. Namun salah satu faktor utama adalah lemahnya budaya membaca di kalangan murid/siswa. Membaca adalah fondasi dan sekaligus pintu gerbang menuju pembelajaran. Siswa yang mahir dan gemar membaca dapat mempelajari apapun juga, sedangkan siswa yang tidak mahir dan tidak suka membaca akan menghadapi banyak kesulitan ketika belajar.
Peran membaca sebagai fondasi dan sekaligus faktor sukses pembelajaran didukung oleh lima faktor berikut. …
Untuk membaca artikel ini secara lengkap, silahkan klik di sini.